Sekelompok warga New York memilih untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari dari makanan yang ditemukan di tempat sampah. Kebanyakan anggota tidak masuk golongan warga miskin karena mereka punya pekerjaan dan penghasilan yang menunjang
Alicia Wood dan Isabelle Reanecke adalah dua gadis muda asal Ausralia. Isabele memakai baju merah muda dengan detail pleats yang cocok untuk dipakai ke jamuan makan malam atau ke bar bersama teman. Di tangan mereka terlihat beberapa kantong plastik supermarket yang tidak lagi mulus dan terisi barang ringan.
Dengan langkah pasti mereka mendekati tumpukan kantong plastik sampah hitam di trotoar dan mulai membungkuk membuka ikatannya. Mereka tidak sendiri, sekelompok orang muda yang ternyata berjalan bersama mereka juga ikut dengan serius mengerumuni dan menggerayangi tumpukan sampah tadi.
Ternyata mereka mengikuti tur sampah atau yang lebih dikenal dengan istilah dumpster diving. Saat ditanya, Alicia berkata, ”Kami tahu tentang gaya hidup ini lewat acara Oprah dan tidak mau ketinggalan kesempatan bagus ikut kegiatan yang tidak ada di kota kami di Australia.”
Dumpster diving diterjemahkan langsung sebagai Menyelam Bak Sampah. Kegiatan ini dilakukan oleh sekelompok warga New York secara rutin untuk protes terhadap sistem yanag mendukung keserakahan perusahaan besar.
Janet, salah satu pengelola kegiatan dumpster diving berkata,”“Kita tidak melakukan ini bukan hanya karena makanan ini gratis tapi untuk menyatakan protes atas pemborosan yang dilakukan oleh perusahaan besar seperti supermarket ini. Kami juga mempertanyakan sistem yang ada di mana banyak makanan yang masih bisa dimakan tapi dibuang sementara banyak sekali orang miskin dan tidak punya makanan, bahkan di kota besar ini."
Janet mempraktekkan gaya hidup Freegan sejak enam tahun lalu dan salah satu pendiri kelompok "Dumpster Diving" di New York ini. Dimulai tahun 2003 dengan enam orang, sekarang anggota kelompok ini sudah lebih dari 1.000 orang. Kebanyakan anggota tidak masuk golongan warga miskin karena mereka punya pekerjaan dan penghasilan yang menunjang.
Mereka bertemu setiap dua minggu sekali untuk menyelamatkan makanan bersama dan mengajarkan cara dumpster diving yang benar, walau tidak jarang anggota berkeliling secara pribadi. Tur kali ini dimulai pukul 21.30 dan diikuti oleh sekitar 30 orang dengan kisaran usia dari awal 20-an sampai 40-an. Selain mereka yang sudah punya pengalaman bertahun-tahun, ada yang baru pertama kali datang atau yang hanya penasaran ingin melihat.
Pemberhentian pertama mereka adalah toko roti franchise asal Prancis “Le Pain Quotidian." Toko terlihat gelap dan tutup, tapi rombongan tidak peduli dan lebih tertarik pada tumpukan plastik sampah hitam di trotoar di depan toko. Sebelum mulai, Janet memberikan pesan untuk membuka plastik dari ikatannya agar bisa diikat kembali setelah mereka selesai.
Rombongan berjongkok mengerumuni tumpukan sampah mencari roti dan makanan yang masih bisa dimakan. Roti ini berada dalam kantong sampah khusus tidak dicampur dengan sampah lain. Ini membuat roti relatif bersih dan aman untuk dikonsumsi.
Selain toko roti dan bagel, rombongan juga mengorek sampah di depan beberapa supermarket dan menemukan banyak sayur dan buah segar yang tidak bisa lagi dijual toko namun masih bisa dimakan. Mangga, apel, paprika, kentang dan brokoli adalah beberapa di antara makanan segar yang dibuang oleh supermarket karena sudah terlalu matang atau agak kehitaman. Janet, Cindy dan rombongan dengan semangat menyelamatkan makanan segar yang masih bisa diolah menjadi makanan sehat bergizi ini.
Sundance Wen, seorang pelajar di New York, ikut rombongan dengan sepeda dan mendengar tentang kegiatan ini secara tidak sengaja, ”Memang agak aneh mengais sampah, tapi justru itu yang menandakan adanya kesalahan dalam sistem di AS. Kegiatan ini juga menentang norma sosial dan saya ingin ikut supaya bisa dapat pencerahan tentang cara kerja masyarakat.” Selain ingin belajar, Sundance juga mengaku ini bisa membantunya berhemat.
Baik untuk protes, belajar dan berhemat, malam ini saja setidaknya anggota rombongan yang berkeliling ke sekitar enam toko selama dua jam ini mendapat banyak makanan gratis. Alicia dan Isabelle contohnya, membawa pulang sarapan pagi mereka dari tur ini yang berupa roti, danish, pisang dan keju.
Makanan ini akan lenyap besok pagi tapi mereka punya oleh-oleh abadi yang bisa dibagikan dengan teman-teman di negeri kangguru, tentunya jika mereka tidak malu bercerita tentang pengalaman seru seputar tempat sampah di New York.
source
Dengan langkah pasti mereka mendekati tumpukan kantong plastik sampah hitam di trotoar dan mulai membungkuk membuka ikatannya. Mereka tidak sendiri, sekelompok orang muda yang ternyata berjalan bersama mereka juga ikut dengan serius mengerumuni dan menggerayangi tumpukan sampah tadi.
Ternyata mereka mengikuti tur sampah atau yang lebih dikenal dengan istilah dumpster diving. Saat ditanya, Alicia berkata, ”Kami tahu tentang gaya hidup ini lewat acara Oprah dan tidak mau ketinggalan kesempatan bagus ikut kegiatan yang tidak ada di kota kami di Australia.”
Dumpster diving diterjemahkan langsung sebagai Menyelam Bak Sampah. Kegiatan ini dilakukan oleh sekelompok warga New York secara rutin untuk protes terhadap sistem yanag mendukung keserakahan perusahaan besar.
Janet, salah satu pengelola kegiatan dumpster diving berkata,”“Kita tidak melakukan ini bukan hanya karena makanan ini gratis tapi untuk menyatakan protes atas pemborosan yang dilakukan oleh perusahaan besar seperti supermarket ini. Kami juga mempertanyakan sistem yang ada di mana banyak makanan yang masih bisa dimakan tapi dibuang sementara banyak sekali orang miskin dan tidak punya makanan, bahkan di kota besar ini."
Janet mempraktekkan gaya hidup Freegan sejak enam tahun lalu dan salah satu pendiri kelompok "Dumpster Diving" di New York ini. Dimulai tahun 2003 dengan enam orang, sekarang anggota kelompok ini sudah lebih dari 1.000 orang. Kebanyakan anggota tidak masuk golongan warga miskin karena mereka punya pekerjaan dan penghasilan yang menunjang.
Mereka bertemu setiap dua minggu sekali untuk menyelamatkan makanan bersama dan mengajarkan cara dumpster diving yang benar, walau tidak jarang anggota berkeliling secara pribadi. Tur kali ini dimulai pukul 21.30 dan diikuti oleh sekitar 30 orang dengan kisaran usia dari awal 20-an sampai 40-an. Selain mereka yang sudah punya pengalaman bertahun-tahun, ada yang baru pertama kali datang atau yang hanya penasaran ingin melihat.
Pemberhentian pertama mereka adalah toko roti franchise asal Prancis “Le Pain Quotidian." Toko terlihat gelap dan tutup, tapi rombongan tidak peduli dan lebih tertarik pada tumpukan plastik sampah hitam di trotoar di depan toko. Sebelum mulai, Janet memberikan pesan untuk membuka plastik dari ikatannya agar bisa diikat kembali setelah mereka selesai.
Rombongan berjongkok mengerumuni tumpukan sampah mencari roti dan makanan yang masih bisa dimakan. Roti ini berada dalam kantong sampah khusus tidak dicampur dengan sampah lain. Ini membuat roti relatif bersih dan aman untuk dikonsumsi.
Selain toko roti dan bagel, rombongan juga mengorek sampah di depan beberapa supermarket dan menemukan banyak sayur dan buah segar yang tidak bisa lagi dijual toko namun masih bisa dimakan. Mangga, apel, paprika, kentang dan brokoli adalah beberapa di antara makanan segar yang dibuang oleh supermarket karena sudah terlalu matang atau agak kehitaman. Janet, Cindy dan rombongan dengan semangat menyelamatkan makanan segar yang masih bisa diolah menjadi makanan sehat bergizi ini.
Sundance Wen, seorang pelajar di New York, ikut rombongan dengan sepeda dan mendengar tentang kegiatan ini secara tidak sengaja, ”Memang agak aneh mengais sampah, tapi justru itu yang menandakan adanya kesalahan dalam sistem di AS. Kegiatan ini juga menentang norma sosial dan saya ingin ikut supaya bisa dapat pencerahan tentang cara kerja masyarakat.” Selain ingin belajar, Sundance juga mengaku ini bisa membantunya berhemat.
Baik untuk protes, belajar dan berhemat, malam ini saja setidaknya anggota rombongan yang berkeliling ke sekitar enam toko selama dua jam ini mendapat banyak makanan gratis. Alicia dan Isabelle contohnya, membawa pulang sarapan pagi mereka dari tur ini yang berupa roti, danish, pisang dan keju.
Makanan ini akan lenyap besok pagi tapi mereka punya oleh-oleh abadi yang bisa dibagikan dengan teman-teman di negeri kangguru, tentunya jika mereka tidak malu bercerita tentang pengalaman seru seputar tempat sampah di New York.
source
0 komentar:
Posting Komentar
ayo tinggalkan komentar mu :D